a girl with a thousands dream called Hani. knows me? talk to me first. it's okay, i'm not going to bite you. ( more..? )
flavors . facebook . twitter . tumblr

Exchange Link Open ask me @ tagboard.

[+] Follow Affies

Posted on: Friday, September 7, 2012 @ 5:52 AM | 0 comment(s)
[Cerpen] Haneul.


Bentangkan sayapmu selebar dan sekuat elang. Terbang dengan bebas sampai kau meraih bulan, dan teruslah bersinar dalam kehangatan seperti matahari pagi. Kau sanggup?
***
PLETAK!
“Auw!” aku terduduk sambil memegangi kepalaku yang sudah terancam kemulusannya karena terus menerus di lempari kapur. “Maafkan saya,” kataku sambil sedikit membungkuk pada guru Hwang yang menatapku dengan pandangan pasrah. Guru muda itu menghela nafas berat sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lakukan sesukamu Oh Sehun!” sentak guru muda itu lalu kembali menghadap papan tulis sambil sesekali membetulkan grafik sin cos-yang sama sekali tidak aku pahami-yang dibuatnya, dan menerangkan materi vektor kepada kami.
Bukan aku yang salah. Aku memang tidak suka Fisika.
Aku menatap kasihan guru Hwang, lalu kembali melipat kedua lenganku di atas meja. Bermaksud untuk kembali tidur sampai tiba-tiba ada yang mencubit pinggangku kuat. Membuatku mengaduh tertahan sambil sesekali melirik ke arah guru Hwang yang tampak tidak peduli.
“Jangan tidur lagi!” desis suara di sebelahku.
Aku menoleh sambil memasang muka paling mengantuk yang kupunya. “Tapi Haneul-ah-“
“Perhatikan! Kasihan guru Hwang. Jangan tidur saja!” Haneul memotong perkataanku.
Aku meniup poniku dengan gaya yang biasa Haneul lakukan, lalu menghadap kedepan. Mencoba menahan rasa kantuk agar tidak kembali menerima cubitan keramat Haneul.
Aku menguap lebar. Mengambil kesempatan untuk sebentar saja menutup mataku yang sudah kehilangan daya. Aku melirik ke arah Haneul yang sibuk mencatat sesuatu di buku misterius yang tidak pernah di perlihatkannya kepada siapapun. Termasuk aku. Sahabat sehidup sematinya sendiri.
Kenapa kusebut sehidup semati?
Kami lahir di tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Hanya mungkin jamnya saja yang berbeda. Aku sudah mengenalnya bahkan ketika aku masih dalam kandungan ibuku. Haneul pernah bergurau padaku tentang ia dan aku yang mengadakan interaksi rahasia di dalam rahim ibu kami masing-masing untuk lahir di tanggal dan bulan yang sama.
Dulu aku percaya. Dan sekarang aku merasa bodoh. Sungguh. Aku dibodohi anak perempuan macam dia.
Tapi intinya, dalam konteks ini kami sehidup.
Yang kedua, kenapa aku bilang semati?
Kami hampir mati di serempet truk tronton besar ketika berjalan bedua. Tepatnya, kami hampir semati. Kalau saat itu aku benar-benar habis terlindas, kata semati itu mungkin saja terwujud. Dan aku, dengan pemikiran anak ingusanku saat itu, akan sangat merasa bangga.
Aku dan Haneul busa dibilang tumbuh bersama. Aku tidak main-main. Kami memang tumbuh bersama. Aku tidak pernah berpisah bangku dengan Haneul sejak playgroup. Itu artinya, aku dan Haneul selalu satu sekolah. Bukan. Kami bukan anti-sosial atau apa. Tapi takdir yang sepertinya ingin sekali kami berdua menjadi remaja culun anti-sosial yang alergi luar.
Tapi kuakui penampilanku memang seperti remaja alergi luar yang kekurangan asupan sinar matahari. Kulit tubuhku pucat, dan sebanyak apapun aku berjemur dibawah terik matahari walaupun dengan tubuh telanjang sekalipun, warnanya akan tetap sama. Pucat yang agak tidak manusiawi.
Tapi aku bangga (baik dengan pemikiran anak ingusanku, atau pemikiran remajaku sekarang ini). Nama asliku bisa saja Sehun Cullen.
Berbeda dengan Haneul. Kulit Haneul putih susu, tapi anehnya sama sekali tidak pucat. Kulitnya berseri dan merona. Manusiawi sekali. Sama sekali tidak mirip Cullen.
Aku seharusnya bisa menganggap ini kelebihanku dibandingkan Haneul. Tapi sayangnya, aku hidup pada zaman di mana vampire hanya ada dalam film-film fantasi yang bercampur dengan cinta segitiga penyentuh hati masa kini.
Jadi, akulah yang aneh.
Aku menatap Haneul dengan ekor mataku, sambil tetap duduk tegak. Berpikir betapa beruntungnya aku mempunyai sahabat seperti Haneul.
Gadis penyuka langit itu, selalu, dan akan selamanya berarti bagiku.
***
“Hari ini pepero daay!” sorak Haneul kegirangan begitu kami keluar dari gerbang sekolah.
Aku menatapnya aneh. “Lalu, memangnya kenapa kalau hari ini pepero day?” tanyaku heran.
Haneul menatapku dengan wajah terkejut yang dibuat-buat. “Oh Sehun..” katanya dengan nada dramatis yang dilebih-lebihkan. “Pepero day adalah hari dimana kita bisa berkeliling café-café untuk mendapakan setoples stik pepero gratis, dan diskon lebih dari 20%!”
Aku memutar mata. “Tapi itu hanya untuk pa-sa-ngan, Kim Haneul,”
“Ya sudah. Kalau begitu ayo pura-pura saja.” Kata Haneul membuatku melotot hebat. “Oh ayolah Oh Sehun. Hanya demi stik pepero enak itu..”
Aku menghela nafas, lalu mengangguk. Haneul langsung berlari sambil menarikku sekuat tenaganya menuju halte bus yang berlawanan dengan arah komplek dimana kami tinggal.
Kami memilih duduk di tengah-tengah ketika Haneul akhirnya menarikku ke dalam bus yang akan membawa kami ke kawasan Myeongdong yang pasti akan ramai di jam pulang sekolah seperti ini. Banyak sekali pasangan yang ingin merayakan pepero day.
Haneul menyuruhku duduk di dekat jendela, sedangkan ia duduk di sebelahku. Selalu speerti itu. Setiap kami naik bus apapun, Haneul pasti akan menyuruhku duduk di dekat jendela, dan membuka jendela bus lebar-lebar.
Saat ini pun begitu. Kubuka jendela bus lebar-lebar, dan membiarkan angin sore Seoul yang sama sekali tidak buruk menerpa wajah dan rambutku. Sinar matahari sudah sama sekali tidak terik. Sore ini cuaca Seoul sedang cerah dan hangat.
Aku memejamkan mata sejenak, lau bersandar rileks di bangku. Mengistirahatkan mataku yang batal bersantai saat pelajaran fisika tadi.
“Hey..” Haneul menyenggol lenganku, membuatku sontak duduk tegak dengan muka gelagapan.
“Apa?”
Haneul tertawa kecil sambil merapikan poniku yang berantakan diterpa angin sore. Lalu ikut bersandar sambil matanya menerawang dengan pandangan kosong ke depan. “Kalau..” ia berhenti. Ragu. “Kalau seandainya kau sendirian bagaimana?” tanyanya membuat alisku naik sebelah.
“Maksudmu?” tanyaku.
Haneul mengibaskan tangannya di udara sambil menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sudah lupakan saja,” ujarnya.
Aku mengangkat bahu tidak peduli.
Saat itu aku berpikir bahwa Haneul hanya terlalu lelah dan berbicara melantur, atau sedang mengantuk.
Dan pada akhirnya aku menyesal. Karena akhirnya aku tahu, Haneul memang sudah lelah.
***
Starbucks adalah perhentian terakhir aku dan Haneul. Setoples pepero stik yang diberikan oleh pelayan tadi masih utuh. Tertutup tak tersentuh sama sekali.
Aku memandangi kakiku, sedangkan Haneul sibuk melamun. Entah apa. Akhir-akhir ini, Haneul memang agak sering melamun dan memandangi langit labih sering dari biasanya. Haneul memang menyukai langit. Baik saat itu sedang mendung, terik, atau cerah dan menyenangkan seperti ini.
Aku memandangi wajah Haneul sambil mencoba menebak-nebak apa yang dipikirkannya saat ini. “Haneul-ah..” tegurku akhirnya.
Haneul menoleh padaku sambil mengangkat alisnya tanpa bicara.
“Kau mikir apa?” tanyaku.
Haneul menggeleng sambil tersenyum lebar seperti biasanya. Tapi aku mengenal Haneul sudah seumur hidup. Bukan hanya setengah hari. Aku tahu ada yang salah dari senyumnya. Tapi aku memutuskan diam. Membiarkan Haneul kembali larut dalam pikirannya sambil menatap langit lewat kaca starbucks yang membatasi café spesialis kopi ini dengan keramaian di luar.
Diam-diam, aku memikirkan pertanyaan Haneul saat di bus yang sebenarnya aku dengar.
Bagaimana jika nanti aku sendirian?
***
Aku berjalan menuju halte bus yang menuju ke Myeongdong. Sendirian. Tanpa Haneul.
Memang tidak biasanya, tapi itulah kenyataannya. Haneul sedang ada kencan. Sekitar dua hari lalu ada seorang kakak kelas kami yang menyatakan perasaan padanya. Mereka bertemu saat kami berjalan-jalan di Myeongdong waktu itu.
Laki-laki itu menyerobot tempat dudukku di depan Haneul saat aku pergi sebentar ke kamar mandi. Ketika aku kembali, mereka berdua sudah mengobrol dengan sangat asyik sedangkan aku berdiri seperti orang aneh sambil memandangi bangkuku.
Haneul dan laki-laki itu menoleh padaku dengan pandangan paling menyebalkan seumur hidupku. Seolah mereka sama sekali tidak bersalah. Haneul sama sekali tidak mengatakan pada laki-laki bernama aneh itu kalau bangku yang sedang ia duduki adalah bangkuku, sebelum aku memenuhi panggilan alamku ke kamar mandi.
Haneul hanya memandangku. Tanpa menyuruhku duduk. Dan beberapa detik setelah itu, ia kembali menatap laki-laki di depannya tanpa peduli lagi padaku.
Sahabatnya sendiri.
Pemilik tempat duduk di depannya lebih lama dari laki-laki yang baru saja datang itu.
Aku menendang kerikil-kerikil di depanku dengan perasaan gerang. Lalu mengeluarkan ponselku dari saku. Berharap kalau-kalau saja Haneul mengirim sebaris kata untuk sekedar mengabariku.
Tapi nihil. Tidak ada.
Haneul mungkin bakal melupakanku hari ini.
***
.. atau seterusnya.
Haneul melupakanku. Untuk seterusnya. Untuk berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan dan bertahun-tahun selanjutnya. Haneul tidak lagi berjalan bersamaku ke kawasan ramai Myeongdong untuk memburu makanan gratis atau mencari diskon di café-café, dan berakhir kelelahan di starbucks.
Dia benar-benar lupa.
Bahkan aku ragu apakah dia masih menyimpan nomorku dengan nama ‘Bestie’. Mungkin gadis itu sudah mengganti namanya menjadi hanya ‘Oh Sehun’. Bukan lagi ‘Bestie’.
Pertemuan dengan kakak kelas di starbucks dua tahun lalu merubah semuanya. Aku dan Haneul. Bukan. Aku bukan cemburu. Aku tidak punya perasaan apapun pada Haneul sejak kali pertama aku mengenalnya. Tidak pernah ada.
Tapi karena aku sahabatnya.
Dan dia sahabatku.
Sahabat selalu bersama. Tak pernah saling melupakan. Tapi Haneul melupakanku sekarang, dan aku menghindarinya. Ada satu sisi jahat dalam diriku yang menuruhku untuk menghindarinya. Agar dia tidak lari kepadaku saat-seandainya-orang itu mempermainkannya nanti.
Aku tidak mau dijadikan pelarian. Biasanya itu yang kubaca di novel-novel cinta.
Dia tidak akan lari padaku. Atau setidaknya, aku tidak akan membiarkan ia lari padaku. Aku terlalu sakit hati. Dua tahun lalu, kami masih saling menyapa sambil berjabat tangan dan merangkul satu sama lain.
Tapi itu dua tahun lalu.
Sekarang, Haneul, gadis penyuka langit yang kukenal sudah hilang oleh orang itu. Aku marah. Setiap aku mencoba untuk memperbaiki semuanya, Haneul seolah tidak membiarkan aku melakukan itu.
Haneul tidak mengenalku, dan aku tidak mengenalnya.
Aku tidak pernah memintanya untuk lari kepadaku jika sesuatu yang buruk terjadi padanya nanti. Tapi aku selalu berusaha mengirimkan sinyal kepadanya, bahwa aku ingin ia kembali. Aku ingin ia kembali menjadi Haneul. Haneul sahabat satu-satunya yang pernah kupunya.
Haneul sahabat sehidup sematiku.
Bukan Haneul yang setiap hari pulang pukul 9 malam dan turun dari mobil hitam mewah dalam keadaan setengah mabuk, dan dengan mudahnya memberikan ciumannya setelah itu.
Aku ngeri melihatnya. Haneul seolah sudah bertukar jiwa dengan mahkluk lain.
Aku tidak pernah mengganti nama kontaknya di ponselku. Dia masih sahabatku. Aku ingin sahabatku kembali. Dua tahun terasa sangat singkat sejak kejadian yang lalu. Tapi Haneul benar-benar sudah berubah terlalu banyak.
Senyum seindah langit senja itu sudah tidak lagi menghiasi wajahnya yang secantik bintang di malam hari. Ia bukan Haneul yang hangat seperti langit musim semi. Aku melihat Haneul lain selama dua tahun ini.
Aku berdiri di halte sampai dua bus lewat tanpa aku sadari. Terus begitu sampai tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar.
“Yeob-“
“Maaf. Tapi nona pemilik ponsel ini sedang mabuk di kedai kami. Dia sudah terlalu mabuk untuk bisa pulang seorang diri. Siapapun kau, tolong bawa dia.”
Aku mengernyit lalu mengecek kontak yang meneleponku sekali lagi.
Haneul.
Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung menanyakan dimana letak kedai itu, dan langsung berlari ke sana tanpa mau menunggu kendaraan umum.
Sudah kukira akan jadi seperti ini.
***
“JANGAN MENANGIS PADAKU!!” Aku membentaknya yang sedang menangis sesenggukan di kamarku. Kamar yang dua tahun lalu setiap hari ia kunjungi.
“Dia mempermainkan aku Sehun-ah..” tangis Haneul malah makin keras.
Aku berjalan ke meja komputer tanpa mau repot-repot menenangkannya. Haneul menangis hebat sekali. Punggungnya bergetar dan dadanya naik turun. Kau bisa bayangkan betapa kacau dandanannya sekarang.
Aku memandang Haneul dari atas sampai bawah dengan pandangan tidak percaya. Haneul yang kutahu sama sekali tidak memiliki-bahkan tidak menyukai-rok mini dan baju kekurangan bahan seperti ini.
“Kubilang jangan menangis!” sentakku dingin.
Haneul memadangku dengan matanya yang penuh airmata, lalu berjalan pelan ke arahku sambil sedikit terisak. Ia memegang lenganku.
“Sehun-ah... Tolong..” mohonnya.
Aku menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya tanpa mau bicara.
“Jadi pacarku,” ucapan Haneul membuatku menyentakkan tangannya dari lenganku dengan kasar. Aku menatapnya dalam dan tajam.
Perasaan sedih bergelayut di nuraniku melihatnya seperti ini. Ini bukan Haneul sahabatku. Dia bukan Haneul.
“Tidak.” Desisku. Membuatnya membelalak tak percaya.
“Tapi. Kau selalu menungguku, kan? Tapi-“
“Aku menunggumu untuk menjadi Haneul yang dulu. Haneul sahabatku. Haneul satu-satunya sahabatku. Sahabat terbaik yang kupunya.” Suaraku bergetar, dan pandanganku mulai buram oleh airmata. “Aku menunggumu bukan untuk kau jadikan pelarianmu. APA KAU TIDAK INGAT SIAPA AKU?!” kuguncangkan bahunya membuatnya menangis makin keras.
Titik-titik airmata berjatuhan dari pelupuk mataku. Membuat sungai kecil di pipiku, dan membuatku lama-lama terisak hebat. “Aku Oh Sehun. Sahabatmu. Kita lahir dibulan, tahun, dan hari yang sama. Kita pernah berinteraksi secara rahasia dari dalam rahim ibu kita masing-masing, Haneul-ah. Masih ingat? Kita pernah hampir mati bersama. Dua tahun lalu, kita berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Dua tahun lalu, aku akan mendapat cubitan keras di pinggang kalau aku mulai tertidur di kelas Fisika. Kau masih ingat?” aku sudah tidak peduli pada tangisanku. Aku histeris sambil terus memegang bahunya erat.
Kulihat perlahan Haneul mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya.
Tes kehamilan.
Positif.
“Berapa lama?” tanyaku pelan. Lebih pada diriku sendiri.
Aku melihat perut Haneul yang agak membuncit dalam balutan pakaiannya yang ketat. Mungkin sudah sekitar 4 bulan. Dan mungkin hanya aku yang tau. Mungkin Haneul merahasiakan ini dari orangtuanya.
Namun tiba-tiba, Haneul jatuh terjerembab membuatku langsung diserang panik. Darah keluar dari bagian dalam roknya, dan merembes melewati pahanya.
***
Aku memandang kosong lantai rumah sakit. Dokter bilang, Haneul sudah mengidap penyakit parah sebelum kehamilannya di mulai. Entah apa nama penyakitnya, itu membuat Haneul tidak bisa bertahan hidup lebih lama dari seminggu setelah ini.
Aku memandang wajah ibu dan ayahnya yang sembab. Mungkin mereka sama hancurnya denganku. Haneul anak yang penurut dan bukan pembangkang sebelum ini. Aku tidak tahu apa yang akan ayahnya lakukan jika 4 bulan lalu Haneul tidak merahasiakan kehamilannya.
Sudah 4 jam. Tapi belum ada kabar lagi dari dokter yang menangani Haneul. Kegelisahan dan airmataku sudah habis. Aku duduk diam tanpa tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Aku bahkan belum sempat menenangkan kedua orangtuanya. Aku sudah tidak memiliki tenaga.
Sesaat kemudian, dokter itu keluar, lalu memanggil kedua orang tua Haneul. Aku hanya melihat tanpa mau bertanya langsung pada dokter itu bagaimana keadaan Haneul.
Aku sudah ingin pulang ketika tiba-tiba ibu Haneul memanggil namaku.
“Sehun-ah!” katanya.
Aku menoleh, lalu berbalik menghampirinya.
“Haneul ingin bertemu denganmu. Kau masuklah..”
Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Haneul. Dan seketika, tangisku pecah kembali. Ia memang Haneul sahabatku. Entah kenapa baru terlihat sekarang. Tapi ia menyedihkan. Bibirnya pucat, kulitnya yang putih susu tak lagi merona. Bahkan lebih tidak manusiawi dari milikku.
Aku menumpukan tanganku di kasur, dan segera di remasnya.
“Sehun-ah..” katanya pelan dan lembut. “Jangan menangis..”
Aku makin sesenggukan walaupun mengangguk pada akhirnya. “Berjanjilah kau akan kuat dan sembuh..”
Haneul hanya tersenyum lemah dan tipis padaku. Pegangannya mengerat. “Sehun-ah..”
“Ya?”
“Boleh kuminta sesuatu padamu? Setelah ini, aku janji tidak akan lagi merepotkanmu. Boleh?” tanyanya. Kali ini aku mengangguk mengiyakan sambil tetap menangis.
Bentangkan sayapmu selebar dan sekuat elang. Terbang dengan bebas sampai kau meraih bulan, dan teruslah bersinar dalam kehangatan seperti matahari pagi. Kau sanggup?
Aku menangis lebih keras. Tidak menjawab permintaannya. Tepatnya enggan. Permintaannya membuatku takut kalau ini adalah permintaan terakhirnya padaku. Aku tidak mau kehilangan Haneul. Aku tidak mau sahabatku pergi. Aku ingin memperbaiki kesalahan yang aku perbuat. Aku ingin semuanya kembali ke awal. Aku ingin lulus bersama-sama sahabatku. Membawa rangkaian bunga, dan memakai toga bersama.
“Kau sanggup?” ulangnya.
Aku mengangguk.
Haneul tersenyum lebih lebar, lalu menarik nafasnya panjang. Setelah itu, matanya mengatup, dan tangannya terkulai lemas. Aku mengguncang-guncang bahunya, dan terus memanggil namanya dengan suara yang keras. Tapi Haneul tidak terbangun.
Aku melirik alat pendeteksi detak jantung di sebelah kanan kasurnya.
Lurus.
***
-Epilog-
“Kau bahagia?” aku berjongkok sambil meletakkan topi toga, dan dua buah karangan bunga.
“Kubawakan bermacam-macam bunga. Kalau kau ingin bunga warna langit, jangan harap aku akan membawakannya. Bunga warna langit itu tidak ada,”
Hening.
“Bagaimana? Kau senang? Bahagia?”
Masih tidak ada jawaban.
“Haneul-ah.. aku bahagia.”
Tidak akan ada jawaban. Tentu saja.
Batu nisan itu akan tetap selamanya diam.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

Labels:

Back to top


Copyright ©. Layout by SekarYoshioka. Header : Pixiv and edited by SekarYoshioka. Please view it with Google Chrome 1024*768. All rights reserved.